The Last Hope: A Sacrifice For The True

The Last Hope click here

-24 tahun kemudian-

--------------

Kipas bobrok menempel di pelapon nan usang itu. Poster wanita berbikini biru menempel di pintu kamar mandi. Di depannya sebuah meja kerja berdebu dan sebuah kursi reot yang termakan waktu, saling melengkapi satu sama lain.

Ruangan itu sungguh tak terawat. Debu menempel di setiap inci ruangan. Sofa merah yang berdiri di depan jendela tak luput dari serangan debu. Sangking kotornya, kau bisa mengambil sebuah kuas dan menuliskan namamu di lantainya tanpa menggunakan cat.

Makhluk apa yang tega tinggal di tempat ini selain tikus besar bergigi tonggos dan kecoa kotor?.

Bruak...!!!!

Pintu depan terbuka kasar. Kepulan debu langsung menyambut pria berjaket hitam itu. Aneh, pria itu seolah telah akrab dengan debu. Tak ada dengusan tiba-tiba atau batuk-batuk kecil yang di keluarkannya.

Pria itu bernama Drake Hawking. Dia adalah seorang pria yang notabennya adalah seorang pembunuh sadis. Dia begitu di kenal di Bastelonia sebagai Reaper karena spesialisnya yang membunuh targetnya dalam kesunyian dan tanpa terduga oleh siapa pun. Dia begitu di cari Bastelonia. Hampir di setiap bar dan dinding bagunan tertempel posternya. Walau begitu, tidak ada yang bisa menangkapnya sampai sekarang.

Drake berjalan kearah meja kerjanya sambil membawa kantong asoy berwarna hitam di tangannya.
"Drake," suara parau itu menyentak Drake. Pria berambut hitam dengan poni yang menggapai mata itu menoleh. Dia melihat seseorang yang keluar dari kegelapan itu dengan mata sayunya. Lingkaran hitam di mata Drake menunjukan kalau pria berperawakan kumel ini belum tidur seharian.
"Hn....., ada apa, Ayah?" tanya Drake pelan.
Pria yang di panggil ayah itu langsung muncul perlahan dari kegelapan. Dia mengenakan baju koko berwarna hitam dan sebuah sarung hitam yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Lipatan-lipatan di wajahnya dan rambut putih yang tak bercela itu menjadi bukti dari umurnya. Pria itu melangkah dengan kedua tangan bergandeng di belakang tubuhnya.
"Tidak ada," ucap pria itu tersenyum. "Aku hanya ingin mengunjungi mu dan..."
"Dan apa?" tany Drake sopan.
"Dan sedikit pekerjaan untukmu."
"Baiklah," kata Drake lalu duduk dia atas kursi meja kerjanya. Kedua kakinya langsung bertengger di atas meja. Tanpa menghiraukan tatapan ayahnya, Drake menarik keluar tempe goreng dari asoy yang tadi di bawanya.
"Jadi, siapa lagi yang harus kubunuh kali ini?. Katakanlah," kata Drake sambil mengigit tempenya.
"Hm....," gumam Ayah Drake sambil berjalan menuju anaknya itu. "Akan kukatakan, tapi," Ayah Drake terdiam sejenak. "Nanti saja," katanya pergi menjauhi Drake dan berjalan masuk kedalam kegelapan sudut ruangan.
"Kenapa?" tanya Drake bingung.
"Ada sesuatu yang harus kau selesaikan," kata Ayah Drake lalu lenyap dari kegelapan.

Ctarr......!!!! Bruak...!!

Tiba-tiba pintu dan jendela di dobrak dengan paksa. Orang-orang berseragam lengkap dengan helm pelindung, masuk lalu menodongkan senjata mereka kearah Drake.
"Heh, ada sesuatu yang harus ku selesaikan," gerutu Drake.
"Jangan bergerak Drake Hawking!" perintah salah satu orang bersergam itu sambil tetap menodongkan senjata mereka. "Anda di tahan atas pembunuhan tinggkat satu."
"Ya ya ya. Terserahlah," Drake berdiri dari duduk santainya.
"Jangan bergerak!!"
Drake tidak mengindahkan perintah pria berseragam itu. Dan berusaha menarik sesuatu keluar dari dalam jaket hitamnya.
"Peringatan terakhir, Drake Hawking!!" teriak pria berseragam itu yang di ikuti oleh sikap siap tembak rekan rekannya yang ada dalam ruangan itu.
"Matilah kali...."
ratusan peluru langsung menghujani tubuh Drake. Pria malang itu tak berdaya menghadapi ratusan timah panas yang menembus tubuh atletisnya. Matanya terbelalak, mulutnya berdarah. Seketika itu juga, Drake langsung jatuh terjembab di lantai di ikuti dengan suara bedebam keras yang mengiringi jatuhnya.
"Target jatuh," kata pria tadi sambil menekan telinga kanannya.
Pria itu mengomandoi pasukannya berjalan di belakangnya. Dengan perlahan dan siaga pria itu mendekati Drake. Memastikan apa dia sudah benar-benar mati.
"Tidak mungkin....."
pria itu bingung. Dia yakin telah melontarkan seluruh pelurunya ke tubuh Drake. Dan jika dia manusia, dia pasti mati. Pikir pria itu.

Dengan tatapan cemas, pria itu menoleh kearah pasukannya. Dan betapa terkerjutnya dia saat melihat pasukannya tumbang bersimbah darah dan kening yang berlubang.
"Ti.... Tidak mungkin!" ucap pria itu cemas.
Kakinya gemetaran dan jantung nya berdegub sangat kencang. Moncong senjatanya awas menyusuri setiap sudut ruangan. Dia berjalan mundur perlahan kearah pintu.

Bukgh....!

Langkahnya terhenti oleh sesuatu. Punggungnnya menbrak sesuatu. Dengan cepat dan ketakutan, pria itu menoleh. Namun, gerakan Drake lebih cepat. Dia memeluk kepala pria itu lalu mematahkan leher pria itu seperti mematahkan ranting.

Setelah mematahkan leher pria itu, Drake berjalan dengan santai melewati mayat-mayat yang bergelimpangan di lantainya yang kusam menuju dinding. Tangan kanannya langsung masuk kedalam kantung celananya. Dinding yang ada di depannya langsung terbelah. Selusin lebih senjata api berbeda langsung menunjukan taringnya. Rifle, sniper, barreta, sampai granat menghiasi tempat persembunyian senjatanya.

Drake termangu sejenak lalu, tangan kanannya menyambar sebuah sniper rifle dan dua revlover berukiran indah di gagangnya.
"Repot kalau setiap hari begini," kata Drake. "Hah.... Dasar ayah."

Drake berjalan menuju cahaya remang yang menyeruak melalui pintunya yang tak berupa lagi. Kaki-kaki kokohnya menyusuri setiap kematian yang ada di sekitarnya.

The Last Hope: A Sacrifice For The Truth click here

0 comments:

Post a Comment

The Last Hope: A Sacrifice For The True

On Thursday, April 26, 2012 0 comments

The Last Hope click here

-24 tahun kemudian-

--------------

Kipas bobrok menempel di pelapon nan usang itu. Poster wanita berbikini biru menempel di pintu kamar mandi. Di depannya sebuah meja kerja berdebu dan sebuah kursi reot yang termakan waktu, saling melengkapi satu sama lain.

Ruangan itu sungguh tak terawat. Debu menempel di setiap inci ruangan. Sofa merah yang berdiri di depan jendela tak luput dari serangan debu. Sangking kotornya, kau bisa mengambil sebuah kuas dan menuliskan namamu di lantainya tanpa menggunakan cat.

Makhluk apa yang tega tinggal di tempat ini selain tikus besar bergigi tonggos dan kecoa kotor?.

Bruak...!!!!

Pintu depan terbuka kasar. Kepulan debu langsung menyambut pria berjaket hitam itu. Aneh, pria itu seolah telah akrab dengan debu. Tak ada dengusan tiba-tiba atau batuk-batuk kecil yang di keluarkannya.

Pria itu bernama Drake Hawking. Dia adalah seorang pria yang notabennya adalah seorang pembunuh sadis. Dia begitu di kenal di Bastelonia sebagai Reaper karena spesialisnya yang membunuh targetnya dalam kesunyian dan tanpa terduga oleh siapa pun. Dia begitu di cari Bastelonia. Hampir di setiap bar dan dinding bagunan tertempel posternya. Walau begitu, tidak ada yang bisa menangkapnya sampai sekarang.

Drake berjalan kearah meja kerjanya sambil membawa kantong asoy berwarna hitam di tangannya.
"Drake," suara parau itu menyentak Drake. Pria berambut hitam dengan poni yang menggapai mata itu menoleh. Dia melihat seseorang yang keluar dari kegelapan itu dengan mata sayunya. Lingkaran hitam di mata Drake menunjukan kalau pria berperawakan kumel ini belum tidur seharian.
"Hn....., ada apa, Ayah?" tanya Drake pelan.
Pria yang di panggil ayah itu langsung muncul perlahan dari kegelapan. Dia mengenakan baju koko berwarna hitam dan sebuah sarung hitam yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Lipatan-lipatan di wajahnya dan rambut putih yang tak bercela itu menjadi bukti dari umurnya. Pria itu melangkah dengan kedua tangan bergandeng di belakang tubuhnya.
"Tidak ada," ucap pria itu tersenyum. "Aku hanya ingin mengunjungi mu dan..."
"Dan apa?" tany Drake sopan.
"Dan sedikit pekerjaan untukmu."
"Baiklah," kata Drake lalu duduk dia atas kursi meja kerjanya. Kedua kakinya langsung bertengger di atas meja. Tanpa menghiraukan tatapan ayahnya, Drake menarik keluar tempe goreng dari asoy yang tadi di bawanya.
"Jadi, siapa lagi yang harus kubunuh kali ini?. Katakanlah," kata Drake sambil mengigit tempenya.
"Hm....," gumam Ayah Drake sambil berjalan menuju anaknya itu. "Akan kukatakan, tapi," Ayah Drake terdiam sejenak. "Nanti saja," katanya pergi menjauhi Drake dan berjalan masuk kedalam kegelapan sudut ruangan.
"Kenapa?" tanya Drake bingung.
"Ada sesuatu yang harus kau selesaikan," kata Ayah Drake lalu lenyap dari kegelapan.

Ctarr......!!!! Bruak...!!

Tiba-tiba pintu dan jendela di dobrak dengan paksa. Orang-orang berseragam lengkap dengan helm pelindung, masuk lalu menodongkan senjata mereka kearah Drake.
"Heh, ada sesuatu yang harus ku selesaikan," gerutu Drake.
"Jangan bergerak Drake Hawking!" perintah salah satu orang bersergam itu sambil tetap menodongkan senjata mereka. "Anda di tahan atas pembunuhan tinggkat satu."
"Ya ya ya. Terserahlah," Drake berdiri dari duduk santainya.
"Jangan bergerak!!"
Drake tidak mengindahkan perintah pria berseragam itu. Dan berusaha menarik sesuatu keluar dari dalam jaket hitamnya.
"Peringatan terakhir, Drake Hawking!!" teriak pria berseragam itu yang di ikuti oleh sikap siap tembak rekan rekannya yang ada dalam ruangan itu.
"Matilah kali...."
ratusan peluru langsung menghujani tubuh Drake. Pria malang itu tak berdaya menghadapi ratusan timah panas yang menembus tubuh atletisnya. Matanya terbelalak, mulutnya berdarah. Seketika itu juga, Drake langsung jatuh terjembab di lantai di ikuti dengan suara bedebam keras yang mengiringi jatuhnya.
"Target jatuh," kata pria tadi sambil menekan telinga kanannya.
Pria itu mengomandoi pasukannya berjalan di belakangnya. Dengan perlahan dan siaga pria itu mendekati Drake. Memastikan apa dia sudah benar-benar mati.
"Tidak mungkin....."
pria itu bingung. Dia yakin telah melontarkan seluruh pelurunya ke tubuh Drake. Dan jika dia manusia, dia pasti mati. Pikir pria itu.

Dengan tatapan cemas, pria itu menoleh kearah pasukannya. Dan betapa terkerjutnya dia saat melihat pasukannya tumbang bersimbah darah dan kening yang berlubang.
"Ti.... Tidak mungkin!" ucap pria itu cemas.
Kakinya gemetaran dan jantung nya berdegub sangat kencang. Moncong senjatanya awas menyusuri setiap sudut ruangan. Dia berjalan mundur perlahan kearah pintu.

Bukgh....!

Langkahnya terhenti oleh sesuatu. Punggungnnya menbrak sesuatu. Dengan cepat dan ketakutan, pria itu menoleh. Namun, gerakan Drake lebih cepat. Dia memeluk kepala pria itu lalu mematahkan leher pria itu seperti mematahkan ranting.

Setelah mematahkan leher pria itu, Drake berjalan dengan santai melewati mayat-mayat yang bergelimpangan di lantainya yang kusam menuju dinding. Tangan kanannya langsung masuk kedalam kantung celananya. Dinding yang ada di depannya langsung terbelah. Selusin lebih senjata api berbeda langsung menunjukan taringnya. Rifle, sniper, barreta, sampai granat menghiasi tempat persembunyian senjatanya.

Drake termangu sejenak lalu, tangan kanannya menyambar sebuah sniper rifle dan dua revlover berukiran indah di gagangnya.
"Repot kalau setiap hari begini," kata Drake. "Hah.... Dasar ayah."

Drake berjalan menuju cahaya remang yang menyeruak melalui pintunya yang tak berupa lagi. Kaki-kaki kokohnya menyusuri setiap kematian yang ada di sekitarnya.

The Last Hope: A Sacrifice For The Truth click here

0 comments:

Post a Comment