Chapter 1 click here
Lift itu menuju keatas dengan kecepatan sedang. Altar, Nanda, dan Jek berada di pojokan lift dengan Altar yang berkeringat dingin mengalir deras di kepalanya. Altar ternyata takut naik lift, semasa kecil Altar sering nonton tentang lift yang macet, lift yang jatuh, dan lift berhantu. Altar juga takut kalau-kalau nanti saat pintu lift terbuka muncul sesosok suster ngesot dan Altar tak tau apa yang harus dilakukan. Apakah dia harus menjerit, menendangnya, atau meminta tanda tangan pada suster ngesot itu?
“kenapa kau Al? Kok jadi pucet begitu?”
tanya Nanda heran karena Altar gelisah berada di pojokan. “mau pipis ya? Pipis
aja dipojokan, gak akan ada yang tau kok paling ntar aku intip doang hehe...”
“gak kok, aku gak kebelet pipis, emang
aku kalau lagi terlalu semangat begini jadi agak pucet.” Jawab Altar tak jujur.
“oh ya udah kalau begitu. Tenangin dulu
perasaan semangatmu Al kakak kelas kita sebentar lagi naik lift ini.” Nanda
menata pakaianya dan membenarkan posisi koboi warna putihnya. “ingat harus
selalu sopan terhadap senior, kalau gak ntar pas Ospek kita gak akan tenang dan
mati penasaran.” Jelas Nanda dengan wajah seram.
“apa?! Sampai mati penasaran? Gila
senior-senior itu!” Altar semakin pucat wajahnya seperti bayi kuda laut.
Sedangkan Nanda mengira Altar lebih semangat daripada sebelumnya.
Lift mulai berhenti dan pintu tebuka.
Sekelompok anak remaja menggukan pakaian bebas dan membawa tas besar masuk
secara tertib kedalam lift.
“selamat pagi pak alis tebal yang mukanya
kriput.” Sapa salah satu remaja yang baru masuk lift. Dia tak menyebutkan nama
orang tua beralis tebal tersebut, sepertinya penulis tak ingin memunculkan
namanya secara cepat.
“kenapa kau memanggilku dengan ciri-ciri
tubuhku Warneng? Sapalah dengan benar!” kata pak tua alis tebal sambil
mengernyitkan alisnya yang tebal.
“yah bapak kok nyalahin saya? Salahin tu
penulisnya gak boleh nyebutin nama bapak dulu katanya.” Jelas remaja tampan
yang diketahui namanya adalah Warneng Mindring.
“hei penulis amatir! Kenapa namaku gak lu
sebutin sekarang ha..?” tanya pak tua alis tebal kepadaku yang waktu itu sedang
sibuk ngerjain PR bahasa Inggris.
“crewet lu, aku lagi nyari-nyari dulu
nama yang keren dan kreatif buat nama kamu nih. Sekarang kembali ke benang
merah oke!” kataku sambil mengacungkan jempol.
Akhirnya cerita ini kembali ke benang
merah dan lift mulai naik kembali keatas. Altar semakin pucat melebihi yang
tadi karena lift semakin sempit dan naiknya terasa berat. Dia khawatir
kalau-kalau liftnya jatuh kebawah seperti apa yang dia sering lihat waktu kecil
dulu.
Para senior tidak memperhatikan para
juniornya dan bertindak seakan tak peduli, sedangkan para junior berusaha keras
menarik perhatian senior dengan segala cara agar mereka lebih mudah dikenal dan
lebih mudah mengakrabkan diri. Ada sebagian dari mereka menarik perhatian
dengan menyanyi, menari, membuat boyband, memasak, bersolek, dan ada juga yang
ekstrim menarik perhatiannya seperti menodong para senior cewek, menodong
senior yang kelihatannya laki tapi gak laki karena minum yang rasa-rasa, dan
yang paling ekstrim menarik perhatiannya adalah percobaan pembunuhan pada
senior yang dianggap ‘killer’ oleh juniornya.
Hal ini telah dimaklumi disetiap tahun
pelajaran baru. Pak tua alis tebal itu membiarkan hal-hal tersebut karena telah
dianggap biasa olehnya.
Altar tidak tau harus melakukan apa agar
dapat menarik perhatian seniornya. Altar sejenak berpikir dan memutuskan ikut
anak-anak lain mencari perhatian dengan percobaan pembunuhan senior killer tapi
Nanda menarik Altar dan memintanya agar tidak melakukan hal ekstrim tersebut.
Perjalanan naik lift itu akhirnya
berakhir ketika pintu lift mulai terbuka dan sangat sepi keadaan diluar lift,
seperti bukan bagian dari mall saja tempat ini. Tempat yang terlihat suram dan
orang mondar-mandir memakai baju panjang hitam. Altar sempat berfikir kalau ada
orang yang meninggal karena semua orang yang dilihatnya memakai baju warna
hitam, tapi pikiran itu dihilangkan oleh senggolan Nanda yang menunjukan
kepapan nama tempat itu yang bertuliskan.
*Pasar sihir*
Tempat
belanja peralatan sihir dan semacamnya
“nah sekarang kalian aku berikan waktu
satu jam untuk berbelanja keperluar sihir kalian sebelum kita berangkat
kesekolah sihir.” Jelas pak tua beralis tebal. Tanpa menunggu perintah semua
anak berlari menyebar kesegala arah seakan ada Bom didekat mereka.
Altar ingat sepertinya dia pernah diajak
bapak mamahnya kesini waktu masih kecil dulu, dia juga ingat kalau ada sebuah
toko tua di sebuah gang sempit yang menjual berbagai perlengkapan penyihir.
Altar berjalan menjauh meninggalkan Nanda yang sedang mengejar Jek karena dia
mulai berjalan lagi menuju toko pakaian dalam wanita khusus penyihir.
Dia ingat betul gang ini, gang gelap,
basah, bertembok retak, seperti di film-film Hollywood dimana selalu diambil
gambar gembel yang berada di dekat api. Di ujung gang terdapat toko serba ada
dengan papan nama yang sudah tak bisa dibaca lagi.
Altar perlahan membuka pintu toko itu
yang penuh dengan debu TIIING... suara bel pintu bergaung dalam toko, beberapa
burung mengangkat kepalanya melihat kearah pintu. Seorang lelaki tua botak
segera menyambut kedatangan Altar dari arah kasir.
“silahkan melihat-lihat anak muda. Ada
yang bisa aku bantu?” Kata lelaki tua itu dengan gemetar.
“iya pak ada.” Sahut Altar sambil
mengeluarkan buku catatannya dari dalam tas sempit yang dijejali karpet terbang
tua milik orang tuanya. “aku membutuhkan seekor burung, burung pengantar
pesan.” Tambahnya.
“kalau burung ada di rak ketiga itu nak,
silahkan dilihat-lihat dulu dan dipilih. Ada bermacam-macam burung disini dari
burung garuda sampai burung cucak rowo ada semuanya.” Lelaki tua itu menunjukan
tempat burung-burung diletakkan.
Altar berjalan ke rak ketiga sambil
melihat-lihat sekitar yang memang banyak debu pada barang-barang toko itu. Saat
sampai ke rak burung tak banyak yang bisa dilihat. Tulang-belulang burung
berada di sangkarnya dan masih tersisa beberapa burung disana. Tak heran
burung-burung itu mati. Makanan, minuman burung itu sudah jarang di stok oleh
pengurus toko.
Altar tertarik pada burung hantu di
pojokan berwarna biru keungu-unguan. Dia pernah dengar dari ayahnya kalau di
inggris para penyihir menggunakan burung hantu untuk mengantar pesan tapi beda
kolam beda ikannya, lain di inggris lain di Indonesia, di Indonesia penyihir
mengirim pesan dengan menggunakan burung bangau yang notabennya masih banyak
dan tidak dianggap punah oleh pemerintah, jadi burung bangau bebas diperjual
belikan.
“yang ini berapa pak?” Altar membawa
burung yang dipilihnya kekasir dan menanyakan harganya.
“kalau yang itu 150 ribu nak.” Kata
lelaki tua penjaga kasir.
“yah mahal amat! 75 deh. Boleh gak?”
tawar Altar.
“jangan segitu anak muda. 120 gimana?”
“gak ah pak masih mahal itu. 80 deh.”
“115”
“ya udah pak.” Sambil memeragakan gerakan
pada saat ‘end’ pada kata ‘loe, gue, end’ “ini kalau boleh ya pak, kalau gak
boleh ya udah ini penawaran terakhir saya 10 ribu gimana?” tambah Altar.
“mmm....” penjaga kasir pikir-pikir dulu.
“ya udah deh bawa aja, buat penglaris.” Jawab lelaki tua penjaga kasir pasrah.
“senang berbisnis dengan anda.” Altar
menjabat tangan penjaga kasir dan keluar dengan perasaan berseri-seri.
Sesusai berjabat tangan dengan Altar
lelaki tua penjaga kasir tadi menyadari 2 hal. Hal yang pertama adalah dia
ingat kalau belum menyiram kotorannya yang ada di WC tadi pagi. Hal yang kedua
adalah dia sadar kalau anak yang baru saja keluar dari tokonya adalah anaknya Harry
Londo penyihir terkenal yang tinggal di Semarang yang merupakan pelanggan nomor
1nya itu.
Agar menambah efek dramatis lelaki tua
itu menengok kejendela dan melihat ke gang diama Altar masih berjalan disana
membawa burung hantu berwarna biru keungu-unguan. Dan lelaki tua itu berkata.
“apapun yang terjadi nak. Minumnya teh botol sosro!”
Chapter 3 click here
Chapter 3 click here
0 comments:
Post a Comment