Chapter 2 click here
Altar merasa dia telah membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan lalu kembali ke tempat yang disepakati. walaupun sebenarnya dia baru membeli seekor burung hantu saja. Benar saja Altar hanya butuh satu barang saja sebab semua barang yang dia butuhkan sudah disediakan oleh bapak dan mamahnya. Itu satu keuntungan tersendiri untuk Altar yang mempunyai orang tua penyihir terkenal dan dia hanya perlu memakai barang yang dulu milik orang tuanya, kalau orang jawa bilangnya sih nglungsuri.
Disana atau bisa aku ketik di tempat itu
Altar dudu di sebuah kursi panjang dan melihat burung yang baru ia beli.
“burung ini sepertinya langka sekali,
akan terasa kurang jika belum aku beri nama.” Altar menggaruk-garuk dagunya
sambil lirik kanan kiri untuk memikirkan nama yang tepat untuk burung hantu
barunya. “AHA! Karena bulumu berwarna biru keungu-unguan aku namai kau Phoenix.
bagaimana? Keren kan?” burung hantunya Altar kaget kalau dia dinamai Phoenix
dan menaik turunkan kepalanya tanda protes.
“Phoenix? nama yang sangat aneh untuk
burung seperti itu, tapi tak apalah karena itu akan sesuai dengan pemiliknya
yang aneh.” Seorang pria sombong dengan tatapan mata yang tajam, rambut kuning
naik seperti super saiya, dan dahi selebar lapangan basket muncul di hadapan
Altar. Dipundaknya terdapat burung elang jantan berwarna coklat yang membuatnya
terlihat keren. Dia terlihat seperti anak konglemerat sebab semua peralatan
yang dia bawa semuanya model baru. Dari karpet terbang model 2012 sampai topi
koboi yang asli dari garut seperti yang digunakan para pengadu kambing.
“ah!? kau...” Altar menggeram.
“tak kusangka kau juga ada disini.” Kata
anak yang membawa elang. “kau anaknya pak Harry Londo kan?”
“iya benar. Dan kau adalah...” Altar
terhenti karena omongannya telah disambar terlebih dahulu sebelum dia selesai
ngomong.
“tepat sekali aku adalah Qakus Amrik. Aku
akan menjadi musuhmu dalam cerita ini.” Akhirnya anak tadi memperkenalkan
dirinya. Altar bersyukur karena dia tidak harus susah-susah mengingat kembali
namanya karena dia benar-benar lupa siapa orang ini.
“apa? Kau mau menjadi musuhku?” Altar tak
mengerti.
“iya. Kau pikir itu burung sakti? Itu
hanya burung sakit yang tak berguna... hahaha” Qakus tertawa menghina dan
burung elangnya juga berkekek kekek ikut tertawa.
“karpet masjid mana itu? Kenapa kau
membawanya?” Qakus terus saja mengejek Altar seperti layaknya musuh.
“orang-orang bilang ayahmu pernah ke kementrian sihir inggris? Aku kira dia
disana hanya untuk menjaga toiletnya.”
Yup.. memang hal itulah yang membuat
Harry londo menjadi terkenal, dia pernah ke inggris bertempur melawan lord
Voldemort, entah benar-benar melawan Voldemort atau dia hanya ikut-ikutan
ngeksis supaya tercantum dalam sejarah aku juga tidak tau. Yang jelas dia
terkenal sekarang dan jangan menuntut penulis kalau ini seperti cerita harry
potter karena memang cerita ini diilhami olehnya.
Ejekan demi ejekan dilontarkan Qakus pada
Altar yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Mungkin Altar sabar atau dia
tokoh utama dalam cerita ini dan dituntut untuk memberi contoh yang baik. Altar
hanya diam tak peduli dengan ejekan Qakus yang bertubi-tubi, dia menganggap hal
ini tidak penting dan lebih memilih untuk membaca buku ‘panduan menjadi murid
sekolah sihir yang baik dan disukai para gadis terutama gadis seksi’.
Benar-benar anak ini. Sukanya baca buku yang aneh-aneh.
Tak berapa lama para rombongan anak-anak
sekolah sihir berdatangan kembali berkumpul. Setelah berdoa dan melakukan
upacara bendera, rombongan kembali masuk lift dan menuju ke atap. Di atap ada 2
buah karpet terbang raksasa yang besarnya hampir sama dengan lapangan
sepakbola. Karpetnya berwarna merah kalem dan agak sedikit malu-,malu dan
satunya lagi berwarna biru cerah ceria. Semua orang diminta mengenakan jaket
kutub yang tebalnya seperti kasur, mungkin karena nanti saat perjalan akan
dingin makannya mereka disuruh mengenakan jaket itu. Altar menaiki karpet merah
dan tak dapat menemukan Nanda dan Jek dimanapun dan sejauh mata memandang.
Beberapa saat kemudian ia baru sadar kalau rombongan ini setengah dari
rombongan yang tadi, berarti Nanda dan Jek berada di karpet yang satu lagi
begitu pikir Altar.
Karpet merah yang dinaiki Altar sudah
penuh sesak dengan orang-orang. Altar berada paling pojok di karpet, dia selalu
memilih tempat pojok bukan karena dia suka mojok, bukan juga suka memojokan,
bahkan dia dipojok bukan karena takut ditonjok, melainkan dia suka dipojok
karena Altar menganggap ini tempat paling fleksibel yang pernah dibuat manusia.
Di pojokan Altar bisa melakukan segala hal yang dia mau. sebenarnya bukan
segala hal sih namun dalam konteks tersebut kata ‘segala hal’ sebenarnya hanya
terdapat 1 hal saja yaitu pipis.
Kemudian Altar kecewa karena pojokan yang
satu ini tidak 3D atau 3 dimensi. Di karpet terbang ini tak ada sekat tegak
lurus siku-siku yang dapat untuk tempat pipis dengan nyaman. Karena kecewa dan
sakit hati Altar mengurungkan niatnya untuk pipis di pojokan karpet terbang
untuk menandakan itu wilayahnya.
Ada yang aneh dengan orang-orang disini.
Tak ada yang berpakaian konyol seperti Altar yang memakai topi koboi, sarung
tangan pelangi, dan sepatu boots warna merah muda. Mereka semua saling ngobrol
dengan asiknya tanpa mempedulikan Altar yang berpakaian aneh ada dipojokan di
antara mereka. Ini mungkin anak-anak kelas 2 yang berarti mereka semua adalah
kakak kelas Altar.
Altar mulai cemas kalau
dia ketauan naik karpet besar yang salah. Dia cepat-cepat mencari jalan keluar
dari karpet tersebut dan menjejal-jejal diantara kakak kelasnya untuk mencapai
depan karpet tempat diamana ia pertama kali naik, padahal Altar bisa saja
melangkah sekali saja mengingat posisinya tadi yang ada di pojokan karpet.
Namanya juga orang panik, Altar sudah hampir menjejal sampai kedepan karpet
ketika suara mantar terdengar MIBER karpet yang tadi masih
berada di atap gedung mulai terbang menuju gumpalan awan putih yang besarnya
sama dengan karpet terbang raksasa itu.apa yang terjadi selanjutnya? itu semua adalah misteri
Chapter 4 click here
0 comments:
Post a Comment