Chapter 3 click here
Altar panik kuadrat ketika karpetnya naik keatas, rasanya lebih geli 5x lipat daripada naik lift. Altar mulai meliarkan tangannya untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa dipakai untuk berpegangan, alih-alih dapat pegangan yang mantap dan kencang dia malah tak sengaja memegang sesuatu yang empuk apakah sesuatu yang empuk itu? Ya benar itu adalah sebuah, seonggok, seutas, atau apapun satuan yang pas untuk menggambarkan pantat. Bukan sembarang pantat, yang dipegangnya tapi pantat seorang kakak kelas yang kebetulan dia banci.
“Auwwww…” jerit kakak kelas yang banci itu. Semua teman-temannya
memalingkan pandangannya kepadanya.
“Heh! Kamu tu kurang ajar banget ya. Eike cubit lho, ihhh
cebel dech” dia mencubit pipi Altar.
Altar hanya terdiam kaku dan tangannya masih berpegangan di pantat si banci.
“Hei bukankah itu anak Harry Londo yang terkenal itu. Angie
lepaskan dia!” Warneng pria yang ada di dalam lift tadi menepis tangan Angie
yang masih mencubit Altar.
“Bukankah namamu Altar?” Tanya Warneng.
“Iya, aku Altar Zimbaque, aku anaknya Harry Londo dan Genie
ohjini.” Altar memperkenalkan dirinya walau Warneng hanya ingin jawaban iya
atau tidak saja.
Orang-orang berbisik dan bergumam sambil melirik Altar yang
bersalaman dengan Warneng. Mereka saling ngobrol dan Warneng memberitahu apa saja yang diketahui
tentang Wahkun Madrasah of sihir.
Ternyata awan yang dituju oleh karpet raksasa itu bertujuan untuk
menyelubungkan dari pandangan orang awam. Ketika memasuki awan laju Karpet
tidak terlalu terasa dan hanya hawa dingin yang sungguh terlalu dan itu
alasannya kenapa mereka menggunakan jaket yang setebal kasur.
“Jadi ini karpet khusus kelas 2 ya?” Tanya Altar.
“Iya, kau berarti tadi salah menginjak karpet merah dan
seharusnya kan
karpet biru. Di karpet ini kita akan menempuh jalur yang lebih cepat daripada
karpet biru.” Ucap Warneng.
“kenapa begitu?” Tanya Altar singkat.
“itu karena kau akan mendapat pertunjukan-pertunjukan menarik
dari serikat sihir sepanjang perjalanan.” Warneng merubah posisinya dari
berdiri menjadi duduk bersila dan mengajak Altar melakukan hal yang sama.
“pegel juga berdiri dari tadi.” Tambahnya.
“Pertunjukan yang bagaimana maksud kakak?” Tanya Altar lagi
“Ya semacam kembang api, manufer-manufer karpet yang
berbahaya, dan mungkin beberapa hadiah dari guru-guru.” Warneng mengeluarkan
ekspresi mengingat-ingat sambil menggaruk dagunya. “Aku jadi ingat waktu dulu
aku pertama kali naik karpet terbang biru. Rasanya menyenangkan sekali
saat-saat itu. Hah…” diiringi hembusan nafasnya Warneng selesai bercerita
tentang masa-masa pertamanya di sekolah sihir ini. Walau cerita Warneng sangatlah
lempeng karena sangat singkat gak ada
orientasi, gak ada konflik, gak ada klimaks, tapi karena Altar adalah anak yang
polos dia suka-suka aja mendengar cerita berkecepatan cahaya dari Warneng.
Beberapa waktu berlalu dan hawa dingin yang tadinya mencekam
kini sirna. Altar masih saja mendengarkan cerita-cerita Warneng yang sama
kilatnya dengan cerita-cerita sebelumnya.
“Perhatian semua! Sebentar lagi kita akan sampai dan lepas
jaket kalian lalu gunakan sebagai bantalan agar terhindar dari benturan.” Terdengar
suara keras dari depan karpet dan semua orang mulai melepas jaketnya dan
menggunakannya sebagai tempat duduk. Altar ikut-ikutan apa yang dilakukan oleh
orang-orang aneh disekitarnya.
“kita sudah sampai di hutan barat dan sebentar lagi kita
sampai.” Suara bergema kembali terdengar dari depan karpet.
Awan yang tadinya menyelubungi karpet mulai memudar, mereka
tepat diatas hutan yang sebagian sudah berupa lahan pertanian dan itulah potret
hutan Indonesia
saat ini. Jadi jangan rusak hutan untuk lahan pertanian, lahan perkebunan
sawit, atau yang lainnya, kasihan kan
hewan-hewan yang nantinya akan punah. Mending hutan di rusak buat tempat karoke
kan enak tu
hutannya jadi gak sepi.
Karena semua orang dalam posisi duduk dan tak memakai topi
koboi sama seperti yang dipakai Altar, alhasil semua orang melihat kearah Altar
dan menyadari kalau dia berbeda. Lho kok baru sadar, memangnya tadi yang lain
pada ngapain? Seorang pembaca bertanya-tanya dalam pikirannya. Lalu penulis
memberi penjalasan kalau tadi sebagian besar orang dikarpet merah tak tau kalau
Altar ada disana dan hanya orang-orang dekat Angie dan Warneng yang tau.
“Hei lihat ada anak kelas satu disini!” seseorang dari
belakang berteriak dan menunjuk ke Altar. Semua orang memperhatikan Altar
dengan ekspresi aneh, ada ekspresi merasa bingung, ekspresi jijik, ekspresi
ingin tertawa, bahkan ada yang berekspresi dengan wajah seperti menahan kentut,
tak lama kemudian ekspresi wajah orang itu menjadi berseri-seri diiringi bau
bangkai tercium dimana-mana. Ternyata dia memang sedang menahan kentut dari
tadi.
Seekor nyamuk seukuran jempol tangan orang dewasa datang
menghampiri Altar. Nyamuk yang sangat besar, cukup besar untuk menyedot habis
darah di bisul ayah Altar yang memang beberapa hari lalu terserang penyakit Bisulinolian
yaitu penyakit bisul yang berukuran diatas rata-rata.
“Anak kelas satu naik ke karpet merah?” ada suara tepat di
depan Altar tapi tak ada yang berbicara. Yang dia lihat hanya anak-anak kelas
dua yang bengong menatapnya dan seekor nyamuk besar gemuk memakai kacamata.
“Kenapa kau berada di karpet ini nak?” tanya suara yang tak ada rupa.
“Kak Warneng, siapa yang berbicara denganku, tak ada orang
tapi aku mendengar suara.” Altar bertanya pada Warneng yang berada
disebelahnya.
“Perhatikan nyamuk itu! Cepat perhatikan!” suruh Warneng
sambil menunjuk kearah nyamuk besar yang ada di depan Altar.
Altar mengangguk tanda mengerti dan mengambil sesuatu dari
dalam tasnya dan yang dikeluarkannya adalah ‘BAYBAY’ semprotan pengusir nyamuk.
“Tamatlah riwayatmu nyamuk raksasa!” wusssshh...
disemprotkannya semprotan pengusir nyamuk pada nyamuk besar yang ada di depan
Altar dan dia menambahkan slogan iklan. “Yang lebih mahal banyak.”
Semua anak terlihat kaget dengan apa yang dilakukan Altar.
Warneng segera merebut semprotan pengusir nyamuk dari tangan Altar dan
anak-anak yang lain mengambil nyamuk yang berputar-putar pusing akibat habis
disemprot.
“Bodoh! Apa yang kau lakukan?” bentak Warneng.
“Katamu tadi suruh matikan nyamuknya.” Jawab Altar polos.
“Aku tadi bilang perhatikan, bukan matikan.” Warneng menampar
jidatnya sendiri sedangkan anak-anak lain menyerbu dan berkerumun pada nyamuk
besar yang telah terjatuh. “Kau tau siapa nyamuk itu sebenarnya?”
“mmm... biar aku tebak!” Altar mulai berpikir selama 2 detik
dan “Oke aku menyerah, beritahu aku.”
“dia, nyamuk yang kau semprot itu adalah-Profesor-Molak-Malik
penerbang karpet ini.” Jelas Warneng dengan perasaan cemas dan marah dan
disingkat menjadi Percemarah (perasaan cemas marah).
“Jadi?” tanya Altar santai.
“jadi kita tak akan bisa
berhenti naik karpet terbang ini karena hanya Profesor Molak Maliklah yang tau
mantra menghentikan karpet ini.” Suasana semakin tegang karena satu-satunya
orang yang tau cara menggunakan karpet terbang raksasa ini sedang tak sadarkan
diri, padahal mereka sudah sangat dekat dengan Wahkun Madrasah of Sihir.
Konflik yang sangat bagus menurut saya.Chapter 5 click here
0 comments:
Post a Comment